New Arrival!

Kamis, 24 Februari 2011

Kasih Seorang Ayah



Sejak dulu, radio merupakan salah satu-satunya teman yang selalu menemani saya ketika sedang mengerjakan tugas, belajar, maupun bersantai. Tidak pernah bosan rasanya mendengarkan rancangan yang disajikan oleh berbagai stasiun radio.
Pernah pada satu malam dulu di sebuah stasiun radio, sedang berkumandang rancangan dimana pendengar berbagi pengalaman hidup mereka. Perhatian saya yang pada mulanya tercurah pada tugas-tugas pejabat beralih ketika seorang wanita bercerita tentang ayahnya. Wanita ini adalah anak tunggal dari sebuah keluarga sederhana. Sejak kecil dia sering dimarahi oleh ayahnya.
Di mata si ayah, tak satupun yang dikerjakan olehnya betul. Setiap hari dia berusaha keras untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan keinginan ayahnya, namun tetap saja hanya ketidakpuasan si ayah yang didapati. Pada waktu dia berusia 17 tahun, tak sepatah ucapan selamat pun yang keluar dari mulut ayahnya. Perkara ini membuat wanita itu semakin membenci ayahnya. Gambaran ayah yang melekat dalam dirinya adalah seorang yang pemarah dan tidak memperhatikan dirinya. Akhirnya dia memberontak dan sejak itu setiap hari yang dilalui tidak sepi dengan pertengkaran dengan ayahnya.
Beberapa hari setelah ulang tahun yang ke-17, ayah wanita itu meninggal dunia akibat penyakit kanker yang tak pernah dia ceritakan kepada siapapun kecuali pada isterinya. Walaupun merasa sedih dan kehilangan, namun di dalam diri wanita itu masih tersimpan rasa benci terhadap ayahnya.
Satu hari ketika membantu ibunya mengemas barang peninggalan almarhum, dia menemukan dengan sebuah bungkusan yang dibungkus dengan rapi dan di atasnya tertulis “Untuk Anakku Tersayang”.
Dengan hati-hati diambilnya bungkusan tersebut dan mulai membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah jam tangan dan sebuah buku yang telah lama dia idam-idamkan. Di samping kedua benda itu, terdapat sebuah kartu ucapan berwarna merah muda, warna kesukaannya. Perlahan dia membuka kartu tersebut dan mulai membaca tulisan yang ada di dalamnya, yang dia kenali pasti sebagai tulisan tangan ayahnya.
“Ya Tuhan, Terima kasih karena Engkau mempercayai diriku yang rendah ini Untuk memperoleh kurnia terbesar dalam hidupku. Ku mohon padaMU Ya Tuhan, Jadikan buah kasih hambaMu ini orang yang berarti bagi sesamanya dan bagiMu. Jangan kau berikan jalan yang lurus dan luas membentang. Berikan pula jalan yang penuh liku dan duri Agar ia dapat meresapi kehidupan dengan seutuhnya. Sekali lagi ku mohon Ya Tuhan, sertailah anakku dalam setiap langkah yang ia tempuh. Jadikan ia sesuai dengan kehendakMu. Selamat ulang tahun anakku, Doa ayah selalu menyertaimu”.
Meledaklah tangisan si anak selesai membaca tulisan yang terdapat dalam kartu tersebut. Ibunya menghampiri dan menanyakan apa yang terjadi. Dalam pelukan ibunya, ia menceritakan semua tentang bungkusan dan tulisan yang terdapat dalam kartu ulang tahunnya. Ibu wanita itu akhirnya menceritakan bahwa ayahnya memang sengaja merahasiakan penyakitnya dan mendidik anaknya dengan tegas agar si anak menjadi wanita yang kuat, tegar dan tidak terlalu kehilangan ayahnya ketika ajal menjemput akibat penyakit yang diderita…
Pada akhir bicara, wanita itu mengingatkan para pendengar agar tidak selalu melihat apa yang kita lihat dengan kedua mata kita. Lihatlah juga segala sesuatu dengan mata hati kita. Apa yang kita lihat dengan kedua mata kita terkadang tidak sepenuhnya seperti apa yang sebenarnya terjadi.
“Kasih seorang ayah, seorang ibu, saudara, orang-orang di sekitar kita, dan terutama kasih Allah dilimpahkan pada kita dengan berbagai cara. Sekarang hanya tinggal bagaimana kita menerima, menyerap, mengerti dan membalas kasih sayang itu”, kata wanita tersebut menutup bicara pada malam itu.

sumber: www.

pengharapan.com